Friday, August 22, 2014

Survival 3 Hari tanpa Seorang Ibu

Seorang ibu sangat berperan dalam suatu keluarga. Merekalah yang biasanya mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci pakaian dan peralatan makan, menyapu rumah, memasak, membangun kan suaminya dan anak-anaknya saat pagi. Semua hal itu dilakukan oleh para wanita bersuami setiap hari tanpa mengenal lelah. Nah, apa yang akan terjadi pada suatu keluarga yang ditinggalkan oleh "sang primadona rumah" dalam kurun waktu beberapa hari? Otomatis, pekerjaan yang biasa ia kerjakan juga ditinggalkan. Mau tidak mau, harus ada yang menggantikan ibu dalam mengerjakan semua pekerjaan rumah yang ada dan hal tersebut adalah tantangan yang lumayan berat bagi seorang.. saya.

Minggu, tanggal 17 Agustus kemarin, ibu saya pergi ke Jakarta untuk sebuah acara. Pada hari sebelumnya, beliau sudah memberi semua list pekerjaan yang harus saya kerjakan dari pagi sampai malam. Pekerjaan yang beliau berikan tidak lah banyak, saya hanya harus memasak, mencuci, dan mengantarkan adik saya sekolah. Tapi berbeda apabila saya masih tetap harus pergi ke sekolah pada pukul 7 pagi dan belajar sampai pukul 3 sore, hal tersebut adalah tantangan tersendiri bagi saya.
Agar ibu bisa pergi dengan tenang, saya menyanggupi semua permintaan tersebut. Ibu saya tersenyum, beliau memberi saya beberapa tips dalam menanggulangi semua pekerjaan tersebut tanpa kewalahan karena sekolah yang menguras banyak tenaga juga waktu. Daftar menu untuk sarapan, makan siang, dan makan malam sudah beliau siapkan, adik saya sudah beliau beri tahu untuk mau membantu saya dalam mengerjakan pekerjaan rumah, semuanya sudah siap untuk melepas ibu untuk pergi selama 4 hari (Minggu-Rabu) ke ibu kota.
Pagi sekali, ayah saya sudah menyiapkan mobil untuk mengantar ibu saya ke agen travel yang akan membawa ibu saya ke Jakarta. "Sarapan sudah ibu siapin. Nanti kalau adik-adik bangun, suruh makan ya." sembari beliau masuk ke dalam mobil, beliau kembali berpesan, "Ibu titip rumah, bapak, sama adik-adik ya, kak?" Saya hanya mengangguk. Mendengar hal tersebut, saya mendapat 3 hal yang berbeda : tekanan dari tanggung jawab yang berat, rasa senang bisa bebas bermain, dan firasat yang lumayan buruk.

Hari Minggu, siang hari.
Saya sedang bersantai di rumah sambil bermain  game dengan tenangnya. Setelah saya mencuci piring dan membuat makan siang, siang hari saya lewati dengan bermain sepuasnya bersama laptop saya. Sore hari datang, adzan Maghrib mulai berkumandang. Saya segera bersiap-siap untuk shalat Maghrib menyuruh semua adik-adik saya agar bersiap untuk shalat juga. Seusai shalat, saya segera memasak makanan untuk makan malam, menyantap makan malam dan kembali bermain dengan laptop saya. Tidak terasa malam bergulir begitu cepat, jam sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam, saya menyuruh semua adik saya untuk tidur karena besok mereka akan sekolah. Sebelum tidur, saya mencuci piring terlebih dahulu dan menyikat gigi, lalu loncat ke atas kasur dan bermimpi indah.

Hari Senin, pagi hari.
Jam setengah 5 pagi, saya bangun dan segera membangunkan ayah dan adik-adik untuk shalat Shubuh. Seusai shalat, saya langsung memasak sarapan dan makan siang untuk adik-adik saya nanti karena saya akan sekolah sampai sore. Sarapan sudah siap di meja, saya langsung pergi mandi, Ali (adik saya yang pertama) saya suruh untuk menyiapkan motor dan membuka pagar. Selesai mandi, saya langsung memakai seragam saya dan pergi mengantar Ali sebelum pergi menuju sekolah saya sendiri.
Singkat cerita, sore sudah menjemput. Jam menunjukkan pukul 5 sore, sudah saatnya saya menjemput adik saya yang kedua, Ruzbi. Setelah menjemput Ruzbi, saya kembali ke rumah dan melakukan rutinitas malam seperti hari sebelumnya, terkecuali mencuci piring. Ketika saya mau tidur, saya teringat tugas yang belum dikerjakan. Karena tugas tersebut berbentuk presentasi dan laporan ilmiah penelitian, akan memakan waktu yang lama untuk bisa menyelesaikannya. Pukul 10 malam, tugas saya baru setengah jalan, karena tidak ingin terlambat bangun besoknya, saya putuskan untuk segera tidur dan membuat kesalahan fatal.

Hari Selasa, pagi hari.
Saya bangun dan meraih handphone saya, layarnya menunjukkan pukul 6 tepat. Sontak saya bangun dari kasur dan berlari menuju kamar mandi. Seusai mandi, saya langsung menyalakan kompor dan memanaskan minyak untuk menggoreng ayam dan telor untuk sarapan dan makan siang. Melihat waktu yang tipis, sembari menggoreng, saya mencuci beras dan memasukkannya ke dalam rice cooker. Ketika saya mau mengambil piring untuk Ruzbi dan Luthfa (adik bungsu saya), saya melihat rak piring kosong. Kaget, saya berlari menuju tempat cuci piring dan melihat tumpukan peralatan makan di sana. Gawat! Saya lupa mencuci semua peralatan makan tadi malam! Kran air saya nyalakan, spons saya tuangkan sabun dan mulai mencuci semua piring.
Ali mulai terlihat murung karena sebentar lagi ia harus sudah masuk ke dalam kelasnya. Seperti biasa, Ali sudah menyiapkan motor dan pagar sudah dibuka. Tanpa berpikir untuk sarapan terlebih dahulu, saya langsung berlari keluar rumah dan menaiki motor. Beruntung sekali Ali tidak telat, saya menghela nafas dan berangkat menuju sekolah dengan tenang, walaupun pada saat pelajaran dimulai, perut saya mulai berulah dan menganggu konsentrasi saya saat belajar. Ingat ya, semua! Sarapan itu sangat penting, karena tanpa sarapan, semua kegiatan kita di tengah hari akan terganggu.
Saat pelajaran terakhir akan dimulai, guru saya memanggil saya dan beberapa teman saya untuk mengikuti sebuah seminar di sebuah universitas di Bandung. Seminar dimulai dari pagi hingga siang dan diadakan pada hari Rabu. Benar, hari esoknya.
Seperti biasa, saya pergi menjemput Ruzbi dan langsung kembali ke rumah dan mengambil biola karena hari itu saya harus pergi les biola di daerah yang lumayan jauh dari rumah. Setelah les, saya melakukan semua yang seharusnya saya kerjakan pada malam hari. Dan, tentunya, tidak lupa untuk mencuci piring lagi. Sebelum adik-adik saya tidur, saya menjelaskan mereka mengenai rencana saya pada hari Rabu dan mereka mengerti, mereka sanggup untuk ditinggal sebentar dan Ali sanggup untuk mengurus mencuci dan memasak untuk semuanya.
Tugas yang kemarin saya kerjakan belum selesai, hari Rabu atau besoknya adalah hari terakhir pengumpulan laporan dan presentasi. Karena pada hari tersebut saya akan pergi, saya harus benar-benar menyelesaikan semua bagian pekerjaan saya untuk saya serahkan pada kelompok saya nantinya.

Hari Rabu, pagi hari.
Ternyata Ali terserang flu, dia sudah izin kepada ibu untuk tidak sekolah karena badannya tidak sanggup apabila dia harus sekolah. Sebenarnya, saya merasa beruntung karena Ali sakit, bukan karena saya senang ia terserang flu, tapi itu artinya ada yang mengawasi adik-adik kecil saya di rumah. Ali menyanggupi untuk memasak apabila adik-adiknya ingin makan. Hal tersebut membuat saya pergi dengan tenang menuju sekolah.
Sesampainya di sekolah, saya segera berkumpul dengan teman-teman saya dan berangkat menuju tempat seminar bersama guru saya. Ditengah-tengah acara, saya mulai merasa cemas dengan keadaan adik-adik saya di rumah, rasa gelisah mulai menjalar ke seluruh tubuh saya. Ketika acara seminar selesai, saya langsung memacu motor saya lurus menuju rumah saya. Sesampainya di rumah, bukannya wajah-wajah yang kelaparan yang saya lihat, justru mereka sedang asyiknya makan siang bersama. "Kenapa, kak? Kok mukanya pucat?" kata Ali. Saya kembali menghela nafas, rasa lega mulai menenangkan hati saya. Ali juga melaporkan bahwa ibu sebentar lagi akan sampai di rumah. Perasaan lega itu kian menyegarkan, beban yang saya tanggung kini hilang.

Sebenarnya, dalam 3 hari tersebut, saya melalui masa-masa yang sangat sulit. Saya sering memberontak dan menelepon ibu saya, mengatakan bahwa saya sudah capek dan banyak tugas sekolah yang harus saya segera kerjakan. Tidak hanya konflik hati, tapi tidak jarang pula saya bertengkar dengan adik-adik saya mengenai pekerjaan rumah. Yah, semua hal tersebut sangat berkesan bagi saya. Manis pedasnya ditinggal seorang ibu itu terasa, walaupun rasa pedasnya lebih terasa, haha.

Ya , itu lah pengalaman survival saya yang ditinggalkan oleh ibu dan menggantikan beliau dalam mengurus rumah juga keluarga. Kini saya sadar, bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga itu tidak lah mudah. Bagi kalian yang menyepelakan pekerjaan-pekerjaan ibu rumah tangga, coba deh kalian lakukan semuanya, jangan cuman satu. All of them! And you will feel the sensation of busyness.

Terima kasih semuanya sudah mau membaca curhatan yang kurang jelas ini. Semoga saja ada hal yang bermanfaat bisa kalian dapatkan dari postingan ini. Dan terus baca postingan "Beyond the Sakura Tree" berikutnya dan ikuti perjuangan seorang Anvari dalam menggapai mimpinya. :)

See you next time!

No comments:

Post a Comment